Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 dan baru mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1914. Al-Habib Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir sangat berperan dalam usaha Ahmad Dahlan menghadapi kegiatan Missi dan Zending di Jawa ini, ia memberikan bantuan keuangan untuk berdirinya perkumpulan Muhammadiyah.
Memang pada awalnya perkumpulan ini didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi umat Islam di Hindia Belanda terutama di Jawa ketika itu yang dinilai tidak mampu menghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut Hamka, ada tiga faktor yang melemahkan umat Islam, yang dinilai Ahmad Dahlan agak memprihatinkan, yaitu:
1. Keterbelakangan atau kebodohan
2. Kemiskinan
3. Dan kondisi pendidikan Islam yang sangat kuno.
Sehingga tidak mampu mengantisipasi dan bersaing dengan sekolah-sekolah Missi dan Zending.
Menurut Harun Nasution, motivasi lain yang juga menjadi pendorong Ahmad Dahlan, adalah ide-ide Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang terdapat dalam majalah al-Manar. Majalah ini juga menjadi salah satu bacaan Ahmad Dahlan terutama sekembali dari tanah suci.
Ahmad Dahlan memberi perhatian besar pada pengajaran dan pendidikan serta menghindari keterlibatan dalam politik praktis. Tujuan ini sama dengan tujuan didirikannya perkumpulan Jamiat Kheir yang menekankan masalah sosial dan pendidikan. Pada Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1921 tujuan dari perkumpulan ini, yang terdapat pada artikel 2 dan 3 menekankan kepada pengajaran dan pendidikan.
Setelah delapan tahun berdiri, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh pulau Jawa bahkan seluruh Indonesia. Di tiap-tiap cabang didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas sekolah Diniyyah yang khusus mengajarkan agama dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum.
Dilihat dari kurikulum pengajarannya, menampilkan kesan bahwa integrasi materi pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, mencerminkan model kurikulum yang telah dirintis oleh perguruan Islam sebelumnya, terutama Jamiat Kheir diterapkan dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Pengaruh Jamiat Kheir terhadap Ahmad Dahlan memang terlihat dari pemikirannya tentang pendidikan Islam. Beberapa pernyataan memberi informasi bahwa Ahmad Dahlan menjadi anggota ke-770 Jamiat Kheir. Dalam pengantar buku “Thariqah menuju Kebahagiaan”, al-Habib Muhammad al-Bagir menulis:
“Tertarik kepada ide-ide pembaharuan yang timbul dalam Jamiat Kheir ini, dan yang digambarkan sebagai penggerak Dunia Islam Baru yang pertamakali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, banyak tokoh agama dan nasional mencatatkan diri sebagai anggotanya. Diantara mereka inilah terdapat tokoh-tokoh yang kemudian mendirikan perkumpulan-perkumpulan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam dan Budi Utomo. Tercatat sebagai anggota antara lain KH. Ahmad Dahlan sebagai anggota nomor 770. Dari sanalah mereka mengenal bacaan-bacaan kaum reformis Islam yang didatangkan dari luar negeri.”
Menurut Karel A. Steenbrink, KH. Ahmad Dahlan bukanlah seorang teoritikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya: “Sedikit bicara, banyak bekerja”. Dia juga merupakan salah seorang murid ulama Syafi’i, Syaikh Ahmad Khathib Sambas yang terkenal di Mekkah.
KH. Ali Musthafa Ya’kub mengatakan bahwa Ahmad Dahlan melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i di Indonesia.
Bahkan saking dekatnya ikatan emosional KH. Ahmad Dahlan dengan Ahlul Bait, beliau menyarankan bahwa segeralah membentuk organisasi otonom kaum perempuan Muhammadiyah dan nama yang diusulkan beliau adalah Fathimah. Beliau beralasan yang paling pas nama yang disandingkan di sisi Rasulullah Saw. dalam perjuangan dan dakwah Islam adalah putri tercinta Nabi Saw.
Sayyidah Fathimah dan para pengikutnya dinamakan Fathimiyah. Akan tetapi terjadi perdebatan di antara sahabat dan pengurus awal Muhammadiyah mengenai nama Fathimah atau Aisyiyah. Suara terbanyak menginginkan nama Aisyiyah sehingga dinamakanlah organisasi otonom (ortom) itu dengan Aisyiyah.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu Islam pertama di Indonesia berdiri tahun 1901. Melalui organisasi ini KH. Ahmad Dahlan berkenalan dengan Syaikh Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad) dan al-Habib Abdullah Alattas yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah.
Inilah yang melatarbelakangi ketertarikan KH.Ahmad Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair. Organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern.
Tekanan dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan umat Islam di Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke jalan yang benar, para pengikut pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh membawa gerakan pembaharuan melalui pan islamismenya di Kampung Pekojan. Perjuangan dua tokoh ini bak gayung bersambut dan dilaksanakan oleh pejuang Islam tanah air yang kemudian melahirkan sebuah organisasi Islam di Pekojan pada tahun 1901. Organisasi ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh al-Habib Ali Shahab dan al-Habib Idrus Shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.
Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi. Rasa nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa Belanda.
Selain itu, organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari Bahasa Inggris sebagai pengganti Bahasa Belanda. Sedangkan bahasa Arab dipelajari sebagai pengantar untuk materi keIslaman. Organisasi ini juga tidak membedakan golongan ataupun status seperti yang dilakukan Belanda. Ini lantaran siswa yang belajar tidak hanya golongan keturunan Arab tetapi juga warga bumiputera.
Jamiat Khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam masyarakat Islam, misalnya keberadaan anggaran dasar, daftar anggota, rapat-rapat berkala dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern. Kelak di kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam) dan organisasi keIslaman lain di Nusantara.
Wawasan keberagamaan KH. Ahmad Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian KH. Ahmad Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase-fase awal.
Dapat kita cermati, bahwa KH. Ahmad Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian KH. Ahmad Dahlan tersebut sebagai berikut:
“Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”.
Maka tidak mengejutkan bila dalam pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, KH. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok merasa paling benar sendiri dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato KH.Ahmad Dahlan tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”.
Setelah KH. Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923 M dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah KH. Mas Manshur, atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih pada tahun 1927, sehingga dengan berdirinya Majelis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang hukum agama tidak lagi bertaklid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab Syafi’i.
KH. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idenya bertambah dan berkembang terus. Salah satu kitab yang digemarinya adalah kitab al-Qashaid al-Atthasiyah karya al-Habib Abdullah Alattas.
Meskipun tidak terhitung sebagai ulama besar yang luar biasa ilmunya, tetapi beliau mempunyai hati yang bersih, berjuang karena Allah semata, jauh dari sifat takabur dan ujub, jauh dari kecintaan terhadap kemewahan dunia dan menghindari perdebatan masalah khilafiyah yang tidak membawa manfaat. Selama beliau hidup, Muhammadiyah mengalami masa yang tentram dan damai, jauh dari hiruk pikuk perdebatan masalah-masalah khilafiyah.
Setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924. Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad.
Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang-orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas di tengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl. Cik Di Tiro Yogyakarta.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah tersebut: “KH.Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 20 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik”, tegas Dr. Yunahar.
Dr. Yunahar lebih lanjut berkisah bahwa dahulu ketika Ahmad Dahlan muda bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga bersama Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermadzhab Syafi’i, maka praktik ibadah KH. Ahmad Dahlan banyak yang mengikuti fiqh madzhab Syafi’i.
Hanya saja, karena KH. Ahmad Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari al-Manar, karya Rasyid Ridha, maka KH. Ahmad Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermadzhab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Madzhab Syafi’i yang dianut Madzhab Syafi’i, kalau suatu masalah kuat Madzhab Hanafi, yang dianut Madzhab Hanafi”, terang Dr. Yunahar. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih.
Ringkasan Kitab Fiqih Muhammadiyyah, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):
1. Niat shalat pakai “Ushalli Fardha...” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
Refferensi:
• “Kitab Fiqih Muhammadiyyah” karya KH. Ahmad Dahlan.
• “Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad ke-20” karya Jainuri.
• “Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan Amal Perjuangannya” karya Junus Salam.
• “Hadits-hadits Bermasalah” karya KH. Ali Mustafa Ya’kub.
• Buku karya Karel A. Steenbrink
• Buku karya Deliar Noer
Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 5 Rabi’ul Awwal 1434 H